Iduladha diperingati sebagai hari raya umat Islam di seluruh dunia pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah. Sebagai hari puncak ibadah haji serta tradisi bagi umat islam dalam berqurban. Hal ini menjadi momentum dalam mengenang peristiwa teladan kisah Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan oleh Allah SWT melalui mimpinya untuk menyembelih Nabi Ismail (anaknya).
Setelah sebelumnya mendapat ujian dalam menghadapi Raja Namrud bersama pasukannya yang membakar Nabi Ibrahim, tidak membuat ujian beliau berhenti begitu saja. Dalam Tafsir Al-Munir, dijelaskan bahwa saat Nabi Ismail berumur tujuh hingga tiga belas tahun, Nabi Ibrahim mendapatkan mimpi hingga tiga kali untuk menyembelihnya. Setelah Nabi Ibrahim meyakini kebenaran perintah tersebut, ia menyampaikan kepada putra semata wayangnya.
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sungguh aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’” (Surat As-Saffat ayat 102).
Mendengar pernyataan dari ayahnya, Nabi Ismail kemudian memberikan jawaban,
“Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’” (Surat As-Saffat ayat 102).
Sebagai hamba yang taat, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tanpa ragu mengimani ketetapan tersebut dengan segenap kesabaran dan keikhlasan. Meski dirundung pilu sebagai bentuk perasaan manusiawi antara ayah dengan putranya, mereka tidak sedikitpun gentar dalam menjalankan perintah. Hingga setelah pisau tajam yang dipergunakan Nabi Ibrahim tidak menggores sedikitpun luka di leher Nabi Ismail, Allah berfirman apabila penyembelihan tersebut tidak dikehendaki, bahkan dilarang dan kemudian digantingkan dengan seekor kambing.
“Lalu Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian,” (Surat As-Saffat ayat 104-108).
Peristiwa antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tersebut memberi catatan bahwa sebagai hamba yang patuh sudah sepatutnya kita untuk menjalankan apa yang telah menjadi perintah dan ketetapan. Dalam sisi lain, peristiwa dramatis tersebut memberikan pelajaran penting yakni kepentingan agama tidak dibenarkan untuk mengorbankan nyawa seorang manusia. Allah hanya menguji ketabahan serta ketaatan dari Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail dalam menjalankan perintah dengan tanpa ego dan kepentingan diri lainnya. Sebagai muslim yang baik, seharusnya kita meneladani peristiwa ini dengan semangat beragama yang diiringi prinsip dalam mengutamakan kepentingan bersama.
Meniadakan ego beserta kepentingan pribadi adalah prioritas yang harus diseriusi bersama-sama. Apalagi ketika dalam kondisi maraknya paham intoleran dan radikalisme di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang notabene adalah masyarakat beragam. Seperti yang kita ketahui bersama, intoleran dan radikalisme tidak hanya terjadi secara gamblang di dunia nyata, akan tetapi juga secara masif berkembang di dunia maya dengan narasi-narasi yang dapat menarik banyak orang.
Hal tersebut memberi ancaman besar bagi kehidupan plural yang bisa melahirkan perpecahan bahkan permusuhan. Tidak sedikit pesan-pesan kebencian yang beredar di dunia maya mengakibatkan respon masyarakat untuk mengeksekusi tanpa melakukan klarifikasi terlebih dahulu. Paham yang menjadikan diri eksklusif merasa paling benar ini sudah bukan sekadar ego dalam proses berkehidupan, khususnya beragama. Tetapi malah melahirkan perbuatan yang mengedepankan ego dan kepentingan pribadi.
Apalagi dengan kasus Covid-19 yang semakin melonjak, membuat kita sebagai umat manusia harus menghilangkan ego dan membantu satu sama lain. Pandemi Covid-19 mengancam banyak keselamatan manusia, sehingga menuntut pengaturan yang ketat sebagai upaya menekan resiko penyebaran virus, termasuk pembatasan interaksi. Sebagai manusia yang berperikemanusiaan, peristiwa pandemi harus disikapi dengan penuh mawas diri..
Maka sebagai umat muslim yang baik, sudah sepatutnya menjadikan momen Iduladha untuk tidak sekadar Sholat Ied dan menjalankan tradisi qurban. Tetapi juga mengambil makna berharga yakni ajaran beragama merupakan jalan untuk keselamatan dan kemaslahatan manusia, bukan malah untuk membinasakan manusia. Kita mesti menyadari posisi diri ditengah masyarakat yang berkemajemukan dan menghadapi pandemi yang membutuhkan suasana kondusif dan menyejukkan.
Iduladha menyampaikan pelajaran dalam berkorban, baik mengorbankan ego maupun kepentingan pribadi. Seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, rela kehilangan harta yang paling berharga, anak semata wayangnya dan kehilangan nyawa untuk menaati ketetapan. Idul Adha merupakan suatu momentum yang sepatutnya harus kita petik sebagai pengorbanan yang paling besar dalam beramal, khususnya bagi kemaslahatan umat manusia.
Penulis: Jifis Ahsani Taqwim