Dunia saat ini masuk pada era teknologi. Kebutuhan manusia akan teknologi sudah tidak bisa dibendung. Teknologi mampu membuat pekerjaan manusia semakin cepat dan mudah. Memasuki abad-21 gawai salah satu teknologi canggih sangat digandrungi masyarakat. Manusia seakan-akan tidak bisa lepas dari gawai, dari situ kemudian muncul istilah Phubbing atau mabuk gawai.
Kemudahan teknologi saat ini sayangnya tidak dibarengi dengan hal yang positif. Terbukti pada kurun waktu tiga tahun terakhir sejak 2016 kasus hoaks sangat masif di media sosial. Tidak adanya batasan terhadap pemakaian gawai, anak-anak yang sudah diberi akses untuk memakai gawai secara otomatis akan mengonsumsi informasi hoaks tersebut. Melalui media sosial juga sering terjadi pelanggaran terhadap anak. Eksploitasi anak, kekerasan non verbal pada anak, dan perdagangan anak yang merupakan rentenan dari berbagai persoalan.
Tantangan saat ini di abad-21 adalah fenomena Post-Truth. Menurut penulis Post-Truth dapat diartikan sebagai era di mana generasi milenial lebih percaya dengan hal yang bersumber dari cerita (stories) di media sosial yang disampaikan secara berulang-ulang dari pada sisi sejarahnya (history). Adanya post-truth ini membuat anak-anak kebanyakan lebih percaya apa yang disampaikan dari dunia maya daripada yang bersumber dari buku. Uniknya kepercayaan akan post-truth ini didasari oleh rasa suka. Artinya meskipun benar, jika apa yang bersumber dari media sosial itu tidak disukai maka hal itu tidak akan dianggap sebagai suatu kebenaran. Jika hal ini terus-terusan dibiarkan maka generasi milenial akan membuat sejarah baru dengan pengetahuan yang mereka miliki dan akan menghapuskan kebenaran sejarah lama. Ketika sejarah lama dan sejarah baru muncul dipermukaan dikhawatirkan akan memunculkan konflik horizontal di masyarakat.
Munculnya Post-Truth memang tak jauh dari media sosial. Dunia maya yang saat ini sebagai penetrasi informasi, pengetahuan, doktrin secara tidak langsung akan mempengaruhi paradigma berfikir anak. Akibatnya Post-Truth akan mengganggu tumbuh kembangnya anak. Seperti halnya doktrin kekerasan dan radikal yang masif di media sosial mulai merambah pada anak. Anak-anak sering menerima satu informasi yang dianggap benar dari apa yang mereka dapatkan tanpa membandingkan dengan pengetahuan yang lain. Dari situ mulai akan muncul pandangan eksklusif yang menimbulkan virus-virus intoleransi pada anak.
Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli diharapkan mampu menjawab berbagai persoalan yang terjadi pada anak. Berbagai peringatan secara global menunjukkan pentingnya melindungi dan memenuhi hak-hak anak agar mampu tumbuh dan berkembang secara optimal sebagai generasi penerus bangsa. Bagaimana membentuk karakter pada anak di lingkungan keluarga. Sebagai madrasah pertama bagi anak, keluarga harus mengenalkan lingkungan dan alam sekitar pada anak. Memberikan pengetahuan dan nilai-nilai spiritualitas, agama dan norma. Marry Belknap dalam bukunya Homo Deva mengatakan “Hubungan anak-anak dan para dewa, juga anak-anak dan alam telah didokumentasikan selama berabad-abad. Selama ratusan tahun tradisi spiritual dalam beberapa budaya telah menulis tentang dewa, Tuhan, atau roh baik. Sering kali utusan ini telah dikenali oleh anak-anak, sebelum pikiran analitik kita berkembang dan memberi tahu makhluk seperti itu tidak nyata. Gambaran pertemuan dengan dewa sering kali merujuk pada roh yang baik hati dari pohon, danau, atau masyarakat yang ditahbiskan untuk perdamaian’’.
Dari kutipan diatas dapat ditarik kesimpulan bagaimana hubungan manusia dengan alam dalam nilai spiritualitas. Hubungan tersebut menimbulkan adanya rasa memiliki terhadap alam. Ketika anak-anak mau berinteraksi dengan lingkungan dan alam hal tersebut akan mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian gawai. Kebersamaan keluarga dan teman akan mengikis sikap intolerasi dan menjauhkan anak dari pemikiran radikal.
Post-Truth sangat mudah diterima akibat dari pendidikan yang rasional, posivistik, pragmatis, dan materialistik yang tuna susila dan rendah budi pekerti dalam pembinaan afektif. Sekolah sebagai instistusi pendidikan harus mampu memadukan aspek nalar dan kaweruh(pengetahuan). Dengan diterapkannya pembelajaran kaweruh yang intuitif untuk menggali potensi intuisi dari dalam diri peserta didik. Begitulah shalat, dzikir, tanaffus mengapresiasi musik sufi, menghafal Al-Quran dan membaca hizb. Fenomena Post-Truth dapat dicegah salah satunya dengan permainan tradisional, tradisi dan kearifan lokal yang ada di masyarakat setempat. Dengan pembelajaran histories melalui seni tradisional, sastra, dan tradisi diharapkan mampu membentengi anak dari Post-Truth yang bersifat kebenaran stories. Kebenaran histories harus tetap dipertahankan sebagai identitas agar tidak muncul sejarah baru yang salah.
Data diri: Penulis bernama Moh Yajid Fauzi mahasiswa Universitas Islam Malang. Ketua umum Himpunan Mahasiswa Progam Studi Ahwal Syakhshiyah periode 2018. Aktif sebagai Penggerak Gusdurian Muda Malang.
Penulis: Moh Yajid Fauzi.