Haji itu ibarat konferensi tahunan, laiknya salat jumat sebagai konferensi mingguan. Sebagai rukun Islam, haji merupakan kewajiban bagi setiap insan muslim yang mampu. Mampu secara jasmani: sehat fisik, punya modal, dan tahu tata cara haji; juga mampu secara rohani: niat ikhlas untuk menggapai rida ilahi. Bagi mereka yang melaksanakan haji lengkap dengan segala syarat, rukun, dan sunnah haji, mereka diganjar dengan surga nanti.
Nabi bersabda, al-haj al-mabrur laisa lahu al-jaza’ illa al-jannah, ibadah haji yang mabrur tidak ada balasan kecuali surga. Rasulullah ketika ditanya apa itu ciri haji mabrur. Rasulullah menjawab, bahwa ciri haji mabrur itu ada dua: (1) memberikan makan (it’am al-tha’am); (2) menebarkan kedamaian (ifsya al-salam). Inilah poin tulisan ini, yakni elaborasi lebih lanjut tentang kedua poin itu.
Kedua poin ini sejatinya adalah muara dari semua proses pelaksanaan haji. Para cendikiwan mengatakan, bahwa haji adalah ibadah penuh simbol. Simbol yang memberikan banyak petunjuk, yang jika hayati secara bijak, maka akan melahirkan kedua poin di atas, yakni kepekaan sosial (memberikan makan) dan mewujudkan kedamaian (menebarkan salam).
Simbol Perdamaian
Bahasa simbolik berisi perdamaian dari ibadah haji bisa dilihat dari sistem gagasan dan artefak dari proses ibadah haji itu sendiri. Bahasa simbol ini hanya bisa diresapi oleh mereka yang sudah berdamai dengan dirinya, yakni membersihkan segala kotoran dalam hati; berdamai dengan Rab, yakni tunduk dan patuh kepadanya; juga berdamai dengan lingkungannya, yakni meminta maaf dan memaafkan kesalahan dari dan kepada masyarakat di sekitarnya.
Ka’bah sebagai sistem artefak yang manusia tawaf di sekelilingnya merupakan simbol perdamaian yang memuat pesan: pengorbanan, perjuangan, dan keikhlasan. Jauh sebelum diwajibkan kepada umat Muhammad, Ka’bah sudah dijadikan oleh Allah sebagai sarana untuk mendekatkan hamba dengan diri-Nya. Konon, Ka’bah dibangun oleh Ibarahim dengan anak tercintanya, Ismail. Pembangunan ini sebagai bentuk kepatuhan Ibarahim kepada Rab-nya. Bahkan menurut Cak Nur, Ka’bah adalah simbol kerinduan dan kepatuhan Adam, sebab sebelum turun ke dunia, Adam selalu melihat bahkan ikut dengan para malaikat mengelilingi baitul makmur di arasy. Kerinduan Adam itu kemudian diobati oleh Allah dengan menyuruh membuat sebuah bangunan sebagai tempat tawaf Adam di dunia, yakni Ka’bah.
Hal yang sama dengan Jumrah. Ia adalah simbol kepatuhan, kesabaran, dan perjuangan. Hajar dengan segala godaan dari setan untuk membatalkan penyembelihan Ismail, berhasil keluar sebagai pemenang. Di sini, Hajar bisa berdamai dengan dirinya, Tuhan-nya, juga masyarakatnya. Sebagai imbalan, Allah pun mengabadikan peristiwa itu sebagai rukun haji.
Padang Arafah juga sama. Sebagai tempat wukuf, ia adalah simbol persaudaraan, kesetaraan, dan kepatuhan. Di tempat ini Nabi mendeklarasikan, bahwa tidak ada perbedaan Arab dan non-Arab, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, kulit putih dan kulit hitam. Semuanya sama dan setara. Hanya orang yang bisa berdamai dengan dirinya, Tuhan-nya, juga masyarakatnya yang bisa melaksanakan titah Nabi ini.
Ritual ibadah haji, mulai dari niat, talbiyah, tawaf, wukuf, sa’i sampai kepada ibadah sunnah haji lainnya penuh dengan bahasa simbol perdamaian. Hanya mereka yang bisa berdamailah, yang bisa dengan senang dan menikmati semua proses ritual rukun dan sunnah haji itu.
Dari Simbol Menuju Aksi
Bahasa simbol haji ini harus diterjemahkan dalam kehidupan nyata. Aksi nyata dengan nilai-nilai perdamaian dengan segala turunannya: persuadaraan, kesetaraan, pengorbanan, dan kepatuhan –harus diaplikasikan setelah sampai di tanah air. Aksi itu tersimpul dalam dua poin, yakni menebarkan kedamaian dan memberikan makan.
Petama, menebarkan kedamaian (salam). Kedamaian harus disebarkan kepada seluruh penjuru. Perbedaan bahasa, ras, warna kulit, dan kelas sosial yang didapati di Mekkah sewaktu proses pelaksanaan haji itu merupakan cerminan kehidupan. Sekalipun berbeda tetapi kita khusuk beribadah; sekalipun beragam, tetapi kita saling menyapa; sekalipun berbeda mazhab, kita saling menghormati, dan seterusnya. Sikap positif ini, harus dibawa pulang ke kampung halaman. Keragaman dan perbedaan itu harus dihormati dan dirawat. Dengan ini akan muncul kedamaian.
Kedua, memberikan makan (ta’am). Memberikan makan adalah suruhan untuk peka terhadap lingkungan sekitar. Tanggung jawab sosial adalah kewajiban. Membantu yang lemah, menolang yang miskin, menyantuni yang membutuhkan, adalah aksi nyata yang harus dilakukan. Kepekaan sosial ini adalah wujud dari ibadah haji yang didapatkan selama di tanah susi. Berangkat dari sini, proses ibadah haji sejatinya tidak berhenti hanya di dua kota suci saja, Mekkah dan Madinah, melainkan harus terus berperoses setelah sampai ke kampung halaman. Pelajaran berharga yang didapat, harus dijadikan sebagai ibrah. Dengan ibrah itu, kita bisa melaksanakan dua tugas penting itu: menyebarkan salam (kedamaian) dan memmerikan ta’am (makanan). Melaksanakan tugas ini adalah jihad yang sebetulnya yang didapat dari haji. Semoga jamaah haji tahun, bisa menjalankan dua tugas pokok ini, Amin.
Penulis: Hamka Husein Hasibuan (Mahasiswa Kajian Maqasid dan Analisis Strategik, Interdiciplinary Islamic Studies, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga)