“Ketika pintu fitnah dibuka, hanya orang pintar yang tahu ketika awal pintu itu dibuka, sedangkan orang bodoh baru mengetahuinya setelah semua hancur.” Asy Syahid Syekh Al Buthy, ulama Aswaja Suriah.
Petuah Syekh Buthy menyambuk kita semua sebagai kaum pengguna media sosial. Di mana media sosial kita terkeruhkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Banyak di antara kita yang mudah membenci dan marah- marah di media sosial.
Apa yang menyebabkan sebagian dari kita menjadi pembenci dan pemarah? Apa hanya karena berbeda pandangan, pilihan, ras, suku, atau agama, kita kehilangan jati diri sebagai bangsa yang beradab? Kapan kah kita menyudahi fitnah yang berceceran di media sosial?
Tentu ini menjadi tantangan besar bangsa ini. Di tengah arus informasi yang silih datang dan pergi, perlu kiranya kita bergotong royong membasmi virus kebencian yang melanda jagad media sosial ini. Sehingga kita mampu menjadi manusia yang selamat.
Dalam islam fitnah adalah tindakan yang lebih kejam dari pada pembunuhan. Naifnya, banyak orang lalim gemar memfitnah sana sini. Bahkan di era milenial fitnah bermetamorfosa menjadi hoaks, SARA dan ujaran kebencian.
Beberapa fenomena yang terjadi di dunia maya akhir ini sungguh merisaukan. Orang dengan mudah menghina ulama, orang dengan mudah mencaci presiden, orang dengan mudah menyebar berita palsu.
Naifnya lagi, ada orang yang mendeklarasikan dirinya ulama atau ustadz, tidak mencerminkan nilai keulamaannya. Ia berkhotbah tidak membawa pesan-pesan toleransi dan perdamaian. Malah Ia dengan lantang menyuarakan kebencian sembari menyebut nama Tuhan.
Beberapa hari lalu, ada ustadz (katanya) Hanan Attaki yang menyuarakan khutbah dengan kontras. Dirinya mengajak para ulama untuk tidak sekedar berkhotbah di mimbar-mimbar masjid. Hanan mengajak para ulama untuk khutbah di luar masjid dan turut mendukung perjuangan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Selain itu, sebelumnya juga kita diramaikan dengan fenomena anjing yang masuk masjid. Di mana ketika si perempuan yang membawa anjing masuk masjid itu dimarahin oleh penduduk sekitar, tanpa tahu sebabnya. Netizen pun ramai mengomentari. Mulai dari prespektif agama hingga asal bunyi (asbun).
Semakin besar ruang komunikasi kita. Semakin besar pula cemaran yang ada. Banyak fitnah dan kebencian yang masuk tanpa tersaring. Oleh karena itu, apakah kita hanya diam dan membiarkan ustadz (katanya) itu enak berkoer-koar?
“Ketika pintu fitnah dibuka, hanya orang pintar yang tahu ketika awal pintu itu di buka.” Siapakah orang pintar yang dimaksud? Apakah mereka yang tahu?
Orang pintar yang dimaksud ialah orang yang tahu bahwa hal itu adalah sebuah kebohongan. Orang pintar tahu lebih dahulu bahwa itu adalah sebuah fitnah. Tapi, orang pintar belum tentu bisa menjadi yang lebih bijak menyikapi fitnah yang ada.
Setelah pintu fitnah dibuka, orang pintar tahu lebih dulu, akan tetapi fitnah itu akan menjadi wujud yang menyebar. Wujud yang mengakibatkan masyarakat terpecah. Wujud yang membuat masyarakat berseteru.
Orang pintar perlulah menjadi bijak. Orang bijak tahu fitnah itu masuk. Orang bijak tahu apa yang harus dilakukan akan fitnah itu. Orang bijak tidak akan diam dengan adanya fitnah itu. Orang bijak akan selamat dari fitnah yang ada.
Sedangkan nasib orang bodoh, akan tahu setelah semuanya hancur. Misal dirinya difitnah oleh tetangganya bahwa istrinya selingkuh. Si bodoh akan mudah percaya bahwa istrinya selingkuh, tanpa memverifikasi kejadian. Si bodah akan tahu kalau itu fitnah setelah dirinya menceraikan istrinya. Itulah jawaban akan si bodoh yang tahu setelah semuanya hancur.
Sebagai orang yang merasa pintar atau bijak, perlulah bersinergi untuk memoderasi dan mentolerirkan dunia maya. Membasmi sekecil apapun kebencian yang tersebar, mengajarkan toleransi kepada mereka yang tidak memahami keberagaman.
Orang pintar dan bijak akan selalu mengkonter narasi kebencian yang ada dengan konten moderat dan toleran. Mereka akan selalu membalas api dengan air keteduhan. Tidak malah mencaci atas nama Tuhan.
Orang pintar dan bijak akan selalu mengajak kita mengenal Tuhan, Manusia dan Alam. Mereka akan selalu mengenalkan dan mengamalkan Pancasila dalam aktivitas bermedia sosial, Mereka juga akan selalu menarasikan nilai-nilai kebangsaan.
Sedangkan orang bodah, akan selalu abai dengan kebencian, intoleransi, hoaks yang bertebaran. Setelah kehancuran, ia akan tahu bahwa dirinya, keluarganya dan bangsanya dirugikan. \
Tentukan diri anda sekarang juga!
Penulis: Al Muiz Liddinillah – Duta Damai Jawa Timur