Aksi bom bunuh diri (13-14/05/2018) yang terjadi di beberapa gereja Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, sempat membuat khalayak Indonesia –bahkan dunia –bingung sekaligus terheran-heran. Sebab, dua di antara pelakunya adalah anak-anak. Bukan rahasia umum lagi, bahwa virus radikalisme sekarang tidak lagi memandang usia. Ia bisa –bahkan sudah menjadi tujuan utama –menyasar anak-anak. Kerentanan anak-anak terperangkap ke dalam tindakan radikalisme-terorisme sangatlah memprihatinkan, dan perlu penanganan yang serius dari pemerintah.
Pemerintah melalui Permen Pemeberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) No. 7 Tahun 2019 sudah menjabarkan tentang Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme. Di dalam Permen itu, upaya edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai Pancasila adalah tanggung jawab bersama dan harus dilakukan semua pihak di semua lini. Selain itu, konseling tentang bahaya radikalisme, rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial harus dilakukan secara bersama-sama.
Pendamapingan sosial yang dimaksud adalah, bahwa segala bentuk budaya dan kearifan lokal harus dimaksimalkan sebagai daya tangkal anak-anak terhadap bahaya radikalisme. Permainan tradisional adalah salah satunya. Seiring dengan perkembangan informasi, dunia digital, medsos, orang secara perlahan-lahan sudah meninggalkam permainan tradisional. Bahkan disebagian daerah sudah musnah, dan tidak ada lagi yang bisa memainkannya; anak-anak lebih senang memainkan game on-line.
Marawat Permainan Tradisional
Permainan tradisional itu bisa dimaksimalkan sebagai sarana untuk menangkal anak dari virus radikalisme. Sebab dengan permainan tradisional, dunia anak menjadi berwarna, kaya pengalaman, kuat pergaulan, bijak mengelola perbedaan, dan tangkas dalam kepeminpinan. Permainan tradisional bukan dunia menang-menangan; kalah bukan sebuah kehinaan, menang bukan sebuah kebanggaan.
Indonesia kaya dengan permainan tradisional. Ratusan bahkan ribuan macam dan bentuk permainan lokal pernah eksis. Mulai Petak umpet, lompat tali, bentengan, ular naga, engklek, gundu sampai gobak sodor dan nama lainnya. Permainan tradisional ini membentuk perkembangan fisik, kognisi, emosi, bahasa, kreativitas, moral, dan rasa solidiritas anak bangsa.
Rasa solidaritas yang tertanam dalam permainan tradisional itu perlu dikembang sebagai sarana untuk menangkal anak dari paham radikalisme. Hari Anak Nasional (HAN) yang diperingati setiap tanggal 23 Juni adalah momentum yang pas untuk merefleksikan kembali akan kekayaan budaya khas Indonesia itu.
Semua Kawan
Nilai-nilai yang ada dalam permainan tradisional selalu mengajarkan kolektivitas, bukan individualitas yang berujung pada keegoisan. Nilai kolektivitas selalu mengedukasi anak bahwa kita perlu orang lain, laiknya orang lain juga membutuhkan kita. Konsesekuensi dari nilai kolektivitas, bahwa semuanya adalah kawan. Kawan yang harus disayangi, dihormati, dan dijaga martabatnya. Prinsip semua kawan tentu sangat efektif sebagai modal dalam menangkal radikalisme di dunia anak.
Penetrasi gawai dan segala turunannya merupakan tantangan tersendiri bagi anak. Anak mulai bermain dengan HP dan sibuk dengan dunianya sendiri. Akibatnya, kolektivitas dan rasa solidaritas mulai terkikis. Efek paling mudah adalah, konten-konten yang anti-perbedaan, keragamana, dan kedamaian bisa merasuk ke dunia anak. Anak tidak lagi terbiasa dengan perbedaan, efeknya anak mulai tumbuh dengan menegasikan yang lain.
Strategi Pembiasaan
Pencegasan virus radikalisme lewat permainan tradisional bisa dilakukan dengan membiasakan dan merawat terus menerus berbagai macam permainan tradisional yang ada di berbagai daerah. Pembiasaan ini bisa dilakukan sejak dini, baik itu di intitusi formal, seperti rumah tangga, tempat bermain, maupun di lembaga formal, seperti sekolah, rumah adat, institusi pemerintahan. Selain itu, merawat dan membiasakan permainan tradisional harus dilaksanakan sejak dini; dari diri kita, keluarga, hingga masyarakat setempat. Selama ini, banyak kearifan lokal yang sangat bagus sebab dilupakan dan tidak diajarkanka generasi berikutnya, lama tergerus oleh gemerlap zaman.
Sekolah adalah salah satu kunci. Para pendidik harus bisa menularkan semangat kerukunan, keguyuban, dan kedamaian kepada para peserta didik. Hal yang sama juga harus dilakukan pemerintah. Pemerintah harus memberikan porsi yang banyak terhadap muatan lokal, khususnya permainan tradisional. Selama ini, pendidikan kita lebih banyak memberikan porsi terhadap kognitif anak didik.
Pencegahan radikalisme berbasis permainan tradisinl adalah upaya untuk tetap marawat dan meruwat nilai-nilai ideal dari budaya lokal yang sudah berabad-abad lamanya. Pencegahan dengan mewariskan nilai-nilai ini sangat ampuh untuk menangkal radikalisme sejak dini. Jika kita dahulu dididik lewat permainan tradisonal dan terbukti radikalisme berhasil kita singkirkan, maka kini saatnya tugas kita semua adalah mewariskan tradisi adiluhung itu kepada anak-cucu kita.
Para orang tua juga pemrintah perlu merespons fenomena menjamur game-game berbasis digital itu. Sebab dunia digital yang tidak bisa bertatap muka langsung tidak terlalu efektif dalam mengelola jiwa kepeminpinan, rasa toleransi, dan jiwa marawat perbedaan anak. Gime on-line adalah dunia visual yang tidak riil, hanya sebatas hiburan, belum bisa secara nyata memberikan efek konstruktif dalam perkembangan sosial dan solidaritas anak.
Penulis: Hamka Husein Hasibuan.