Ramadan boleh berlalu, tapi intuisi dan keindahannya adalah keseharian kita, umat manusia. Kita boleh sedih ditinggalkannya, tapi kita perlu berbahagia karena nafas Ramadan adalah nafas amal baik kita setiap harinya. Penggemblengan spiritual selama satu bulan keberhasilannya berbanding lurus dengan laku di hari-hari lainnya.
Panjang, gairah Ramadan salah satunya adalah semangat umat manusia membangun spiritualitas berbangsa. Apa itu spiritualitas hidup berbangsa? Spiritualitas itu adalah bersama mewujudkan baldatun thayyibatun warabbun ghafur, negara yang baik penuh pengampunan Tuhan.
Negara yang baik inilah yang perlu didefenisikan bersama, menarik pula jika dikorelasikan dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa kita. Sebagaimana yang dikatakan Prof Oman Fathurahman dalam twitnya 1 Juni 2020. “Sila pertama Pancasila menegaskan karakter kita sebagai bangsa yang relijius. Berketuhanan berarti cinta tanah air, berkemanusiaan, mengutamakan kebersamaan dan peduli pada sesama,” dalam refleksinya memperingati Hari Pancasila.
Spiritualitas Ramadan atau pun paska Ramadan itulah spiritualitas kebangsaan. Semangat berbangsa rakyat yang berketuhanan atau rilijius istilahnya Oman, adalah cinta tanah air. Jangan sepele kan ini, ulama nusantara selama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia juga berpegang teguh pada cinta tanah air- hubbul wathan minal iman.
Cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Bagian dari semangat rilijiusitas Ramadan adalah semangat mencintai tanah air. Merawat hidup berbangsa dan bernegara dengan harmoni. Keindahan kebangsaan yang tidak ilusi, tapi bersama mewujudkan keindahan kebangsaan melalui kesalehan sosial- dalam bahasanya Gus Mus.
Apalagi di tengah pandemi yang tak kunjung berlalu, dan telah memasuki fase normal baru. Kenormalan baru ini menjadi tantangan kebudayaan tersendiri. Budaya masyarakat akan ditantang membangun kebudayaan baru yang humanistik.
Perubahan itu bukan lah hal baru, ini bagian sunnatullah, karena memang keberadaan virus ini bagian dari kontingensi. Seperti halnya manusia, Tuhan bisa menjadikan kita semua ada atau tidak ada. Sehingga sebagai makhluk yang berakal dan berkeyakinan manusia diberikan kesempatan untuk mengolah alam semesta ini.
Spiritualitas Ramadan yang selalu bisa kita teladani yakni puasa itu. Puasa dalam artian yang lebih progresif menurut penulis adalah menahan diri dari hal-hal yang merugikan orang lain dan mendorong diri untuk terus berbuat baik terhadap orang lain guna mendapatkan Ridha Allah Swt. Pada makna yang progresif revolusioner adalah menahan diri kita dari belenggu pasar yang kapitalistik monopoli eksploitatif dan merusak alam.
Keserakahan yang secara tidak sadar kita lakukan adalah keserakahan yang menguntungkan pemodal rakus dan merugikan kaum lemah (mustadhafiin).Kaum lemah rentan menjadi korbannya. Oleh karena itu, taawun atau tolong menolong antar rakyat ini menjadi penting.
Serikat kerakyatan guna membendung keserakan besar ini wujud puasa yang bisa selalu kita upayakan. Sehingga, setiap bulan Ramadan juga kita kerap diperintahkan untuk bersedekah dan memberi makan kepada fakir miskin dan anak yatim.
Kepedulain bersama sebagai semangat Ramadan ini patut selalu kita lakukan, terlebih saat pandemi dan penerapan normal baru. Gotong royong antar warga membangun pola hidup yang diberkati Allah Swt adalah transendensi puasa. Saling mengingatkan atas pentingnya menjaga kesehatan dan memastikan kebutuhan tetangga tercukupi.
Puasa sebagai ritus agama islam guna mencapai keselamatan. Islam sebagai agama yang menyelamatkan. Selamat dari penyakit, selamat dari kelaparan, dan selamat dari kezaliman lainnya.
Islam sebagai agama pembebasan juga demikian, islam sebagai agama yang cinta tanah air, di mana umatnya senantiasa mengabdikan diri untuk hidup berbangsa dengan baik. Umat yang saling membebaskan diri dari belenggu kebodohan dan keterpurukan. Karena kebodohan adalah pangkal dari keterpurukan.
Apa yang perlu juga untuk diperhatikan sebagai gairah Ramadan di tengah normal baru? Itulah pendidikan, pendidikan untuk semuanya. Sebagaimana wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw saat bulan Ramadan, “Iqra”. Mengapa demikian? Karena islam adalah agama yang melek aksara dan ilmu pengetahuan.
Peningkatan ilmu pengetahuan ini adalah bagian terpenting dalam merefleksikan semangat Ramadan saat normal baru. Semakin tahu seseorang semakin mengerti apa yang harus dilakukan. Semakin tahu dan mengerti seseorang maka semakin bijaklah dia. Semakin keduanya, maka sesungguhnya mereka dekat dengan hidayah dan keberkahan- sebagai mana Ramadan, bulan yang penuh berkah.
Keberkahan itu akan selalu kita nikmati setiap hari dengan bangunan sosial yang kuat. Perikemanusiaan yang adil dan beradab. Keberkahan itu terwujud dalam rasa kepedulian kita mewujudkan masyarakat dengan budaya literasi dan demokrasi yang saling mencintai. Karena, negara yang baik penuh dengan pengampunan Tuhan itu untuk rakyatnya yang mencintai sesama.
Penulis: Al Muiz Liddinillah (Duta Damai Jatim)