Oleh: Al Muiz Liddinillah
“Berbahagialah sebuah bangsa yang memiliki anak-anak yang masa kecilnya asyik bermain, masa remajanya rajin belajar, dan masa mudanya senantiasa bermanfaat bagi bangsanya.”
Rantai kalimat di atas serasa manis ketika hanya dibaca atau didengarkan saja. Bagaimana tidak, tantangan kita hari ini adalah masih adanya anak-anak yang tidak mendapat keamanan yang layak, akses pendidikan yang baik, hubungan sosial yang harmoni, dan tentu relasi keluarga yang masalah. Dari mana kita bisa memperbaiki masa depan anak Indonesia jika kondisinya seperti itu?
Orangtua kita melahirkan dan membesarkan kita dalam medan yang beraneka ragam dan dengan keterlibatan negara. Usaha merawat anak bangsa yang seperti apa yang hendak kita perjuangkan. Adakah angin segar dalam membangkitkan dunia anak-anak kita yang lebih asyik dan memerdekakan?
Banyak orang beranggapan bahwa anak kita adalah anak kita, anak dari orangtuanya. Anak yang hanya secara biologis dilahirkan dan dirawat oleh induknya. Salah kaprahnya lagi, anak adalah manusia baru yang diharuskan menanggung ego orangtuanya.
Agar tidak terjadi ketidaktahuan, kesalahpahaman, dan ketidakadilan yang menimpa anak-anak kita, maka perlu kita semua menyadari bahwa anak memiliki dunianya dan anak perlu didampingi dalam setiap tumbuh kembangnya. Mengapa demikian? Anak yang mendapat mentor, fasilitator, atau guru yang baik akan mengantarkan dirinya menjadi pohon tua yang bijak.
Usaha pertama adalah keterlibatan kedua orang tuanya. Keterlibatan ayah dan ibu dalam tumbuh kembang anak sangatlah dibutuhkan. Di saat anak masih sangat kecil, anak akan menjadikan orangtuanya sebagai teladan satu-satunya. Jika orangtuanya memberikan contoh yang tidak baik, maka jangan berharp anak akan melakukan hal baik.
Keterlibatan kedua orangtua dalam pengasuhan sangatlah penting. Sebagaimana temuan Qori Zuroida, Universitas Sebelas Maret menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara yang fatherless, negara yang peran ayah sangatlah minim dalam pengasuhan anak. Dampak dari fatherless di antaranya adalah anak merasa tidak percaya diri, takut, cemas, dan tidak bahagia; memiliki kemampuan akademik rendah; serta berpotensi melakukan kejahatan/ kenakalan remaja.
Kedua, mendidik anak dengan cinta kasih. Selain keterlibatan aktif orangtua dalam pengasuhan, orangtua juga penting untuk melapangkan hati dan meluaskan kasih sayang kepada anaknya. Anak bukanlah objek kemarahan dan kekerasan. Bagaimana pun perilaku anak harus ditanggapi dengan cinta kasih.
Cinta kasih yang diberikan sejak dini akan mengasah perasaan anak agar juga memiliki cinta kasih yang sama kepada orang lain dan makhluk lainnya. Cinta kasih ini bukan berarti orangtua tidak tegas, tapi orang tua dianjurkan mengelola emosinya dengan cinta, bukan amarah. Bukan berarti pula cinta kasih ini tanpa kendali atau berpasrah, tapi dengan bersabar kita mendidik dan mengarahkan si anak agar terus bertumbuh dan berkembang dengan bahagia.
Ketiga, mengenalkan anak kepada lingkungan sekitar. Setelah tumbuh cinta kasih dan berkembang segala keterampilan dalam diri anak, anak juga perlu dikenalkan dengan anak-anak lain atau makhluk lain. Sehingga anak mampu mengolah dirinya dalam pergaulan.
Keempat, mengajak anak untuk bermain, belajar, dan menjaga kesehatan jasmani rohani. Bermain sudah barang tentu sering dilakukan oleh anak-anak kita. Belajar juga penting, terlebih membacakan buku anak sejak dini, bahkan masih dalam kandungan. Dengan membacakan buku kepada si anak, akan melatih otaknya untuk bergerak aktif dan menstimulus anak untuk berpikir.
Belajar bukan berarti sekolah formal, belajar dalam hal ini ya mengembangkan diri anak agar bisa bertambah pemahamannya, kecakapannya, keterampilannya, dan pekertinya. Orangtua adalah guru utama dan terbaiknya. Selain itu, anak juga diajarkan untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani – dengan makanan bergizi, berolahraga, dan tidur yang teratur.
Kelima, memantik anak untuk berpikir kritis dan berani. Ini adalah level advance, atau level puncak yang menjadi buah dari pengasuhan anak dari bayi hingga belajar mengenal dunianya. Dengan berpikir kritis, anak tidak gampang ikut-ikutan, dan bisa mempertanyakan sesuatu yang dianggapnya tidak tepat.
Kemampuan berpikir kritis adalah rangkain proses pembelajaran anak dari bermain, belajar, dan mengolah emosi. Dengan berpikir kritis anak akan berpihak pada kebenaran dan serta merta memperjuangkan keadilan jika terjadi situasi yang timpang atau menindas di sekitarnya. Dari itu semua, anak akan menjadi pribadi yang berani menyuarakan kebenaran, sebagaimana kebenaran akan cita-cita perdamaian dan cinta kasih.