Sifat naluriah manusia yang selalu ingin tahu akanmengantarkannya pada sebuah penemuan baru dan memberikan jalan keluar dari persoalan yang dihadapi. Sejakzaman nenek moyang kita hidup dalam kafilah-kafilah, pikiran manusia selalu menggali dan mencari jalan keluar ataspersoalan-persoalan yang dihadapi. Dan tak jarang buah pikirdari nenek moyang masih kita gunakan sampai saat ini.
Kerja-kerja seperti itu, saat ini dilanjutkan oleh alim ulama’. Mereka selalu berjuang memeras otak untuk mencari jalankeluar atas situasi sulit yang dihadapi, seperti kondisi yang bersama-sama kita alami saat ini, yakni pandemi. Alim ulama’ di sini menggunakan makna harfiah, bukan makna istilah. Sehingga makna alim ulama’ adalah orang yang memilikiilmu, bukan hanya kiai atau ustaz.
Para alim dalam bidang agama, beliau semua mencari jalankeluar atas persoalan umat dalam menghadapai pandemi. Mereka bermusyawarah dan menilik dalil-dalil yang cocokdan maslahat untuk umat. Para alim dalam bidang sains, mereka menelateni penelitian untuk mencari solusi-solusimenghadapi virus nakal ini. Mereka mengedukasi masyarakatuntuk hidup sehat disertai dengan alasan-alasan yang rasional. Para alim bidang tata negara juga tengah berdiskusi tentangmenyiapkan keseimbangan negara. Aspek dan dimensi negara amat sangat luas, sehingga perlu diseimbangkan satu samalain agar tetap berkembang meskipun semenjana.
Usaha dalam mencari jawaban atas semua persoalan tentutidak selamanya berjalan mulus dan nyak-nyuk. Persis sepertimencari emas dalam tumpukan tanah. Dari jauh, tambangemas memang hanya seperti gundukan tanah tak berharga, tetapi bukan ilmuwan ketika meninggalkan gundukan itubegitu saja. Dengan pelan-pelan mereka membongkar, memilah, dan memilih hal penting dari elemen-elemenpengotor. Dengan ketelatenan akhirnya si penambang itumemiliki emas yang berharga.
***
Saat ini, iklim informasi yang kita hadapi bak banjir bandang, Terlalu kencang dan menakutkan. Arus informasi yang tersedia di sosial media bukan kepalang banyaknya. Bahkanmungkin sampai umur kita usai, kita tidak akan bisamenyelesaikan membaca semua informasi yang tersedia di sosial media. Apalagi informasi-informasi itu juga selaludiperbarui tiap harinya.
Para pemilik media pun terjebak dalam perangkap gim badaiinformasi ini. Mereka membiarkan dirinya menghamba pada kecepatan, bukan lagi soal akurasi berita yang disampaikan. Akhirnya banjir informasi di sosial media pun semakinmenjadi-jadi.
Iklim banjir informasi tentu akan menumbuhkan akibat pada pengguna aktif sosial media. Sistem kerja otak manusia akanmengikuti iklim kerja sosial media. Otak menjadi terbiasadengan kecepatan informasi, selain itu otak juga menjadisering lalai karena adanya sistem notifikasi yang seringmerebut atensi.
Konsekuensi atas iklim seperti ini adalah semakin dangkalnyakita membaca. Dulu, ketika era buku berjaya, orang bisaduduk berjam-jam hanya untuk membaca. Mereka hanyutdalam apa yang mereka baca dan mereka juga terbiasamembaca sangat dalam. Otak mereka juga terbiasa untukkonsentrasi dalam waktu yang sangat lama.
Tapi itu semua berubah saat gawai pintar datang di tengah-tengah kita. Salah satu perubahan besar yang dilakukan gawaipintar adalah sistem notifikasi, sebuah sistem yang membuatkita bisa tahu kabar orang dengan sangat cepat. Dan dengansistem ini pula yang akhirnya membuat otak kita bekerjaseperti kutu loncat. Berpindah dari satu kanal ke kanal yang lain. Otak kita jadi terbiasa membaca dangkal dan atensi kitajuga sering terombang-ambing. Ini semua bisa dibaca di bukuThe Shallows karya Nicholas Carr.
Satu hal lain efek dari gawai pintar dan alam sosial media selain otak menjadi sulit konsentrasi adalah tuntutan agar mendapatkan informasi dengan cepat. Terbiasanya kitadisuguhi berita dalam waktu menitan membuat kita benar-benar haus akan update informasi. Namun sayang, berita yang ditampilkan menitan pasti tidak berisi informasi yang jelasdan mendalam. Dalam kanal berita daring, kita seringdisuguhi berita yang unsur 5W1H-nya saja kurang.
Kita menuntut penambang emas menghasilkan logam muliaberkilo-kilo dalam sehari karena kita sudah kepalangkecanduan emas. Akhirnya, para penambang itu hanyamampu menghasilkan hasil tambangan yang kotor dan tidaksempat dimurnikan terlebih dahulu. Ini semua karena adatuntutan kecepatan.
Ketika posisi otak sudah dalam kecenderungan membutuhkaninformasi yang cepat, ia akan menuntut segala informasiberjalan lebih cepat pula. Dan kondisi ini akan membuat otaksemakin lemah dalam melakukan verifikasi. Otak kita hanyasesak oleh banyak informasi tetapi sama sekali tidakmendalam.
Selain intelegensi dalam otak berkurang, informasi yang asalcepat akan menghasilkan orang yang sok tahu. Ya karena itutadi, di otaknya hanya berisi banyak informasi tetapisemuanya dangkal. Otak tidak pernah terlatih menelaah, menganalisa dan memberikan keputusan.
Ketika kejelian dan sok tahu sudah menguasai diri, disanalahkita akan dengan sangat mudah dikuasai informasi borong. Kita jadi mudah tertipu akan HoAX dan kisah-kisahkonspiratif yang menggemparkan.
Dalam masa pandemi ini, sudah berapa kali kita diguyurdengan HoAX dan konspirasi yang menyesatkan. Apakah adayang percaya? Banyak, hal ini karena otak sudah kepalang ter-setting menagih informasi dengan cepat.
Di luar kasus corona pun, orak kita juga sudah mulai ter-setting untuk menagih semua dengan cepat, seperti soalmenghukumi suatu kebijakan negara. Kita lebih percaya pada yang cepat dan menghebohkan dari pada yang kredibel. Akhirnya kita bisa terjerumus dalam sikap anti-sains, anti-ilmiah sampai anti-keilmuan. Sekali lagi, proses mencari emasadalah suatu perkara yang tak bisa cepat dilakukan, para ilmuwan mencari pengetahuan juga bukan pekerjaan yang kelar dalam hitungan jam.
Sehingga mental yang sadar akan pencarian ilmu yang selaluberjalan gradual, melakukan klarifikasi dan kritis atas segalainformasi yang diterima akan menyelamatkan kita dari arusinformasi soal corona yang menyesatkan. Pun juga akanmenyelamatkan kita dari informasi yang akan membuat kitamenjadi ekstremis.
Ingat kata Band Kotak “Pelan-pelan saja.”
Penulis: M Bakhru Thohir (Pegiat di Komunitas Gubuk Tulis)